Manusia-wi
Pandita R. Hardjon Dhammaraja
Berbicara soal “Manusia”, sesungguhnya dalam
Buddhadhamma hal itu termasuk bagian dari 31 alam kehidupan yang ada dalam satu
tata surya. Manusia bukan termasuk makhluk yang mengalami dukkha
(ketidakpuasan) sepanjang waktu dan bukan pula makhluk yang mengalami sukha
(kebahagiaan) sepanjang waktu. Kehidupan manusia di alam ini mengalami sukha
dan dukkha silih berganti dan terus-menerus dialami oleh penghuni alam tersebut
sebelum mampu mencapai Penerangan Sempurna.
Sebagai umat Buddha yang mengalami dukkha tidak
diharapkan untuk bersedih, karena dukkha sifatnya sementara dan merupakan fakta
hidup yang tidak bisa ditolak ataupun dielak. Dalam hal ini yang paling penting
adalah kita bisa menyadari kondisi tersebut sebagai suatu fakta kehidupan dan
tidak pula berharap penuh dengan kegembiraan yang berlebihan ketika mengalami
sukha, karena sukha bersifat sementara dan pertanda akhirnya dukkha. Justru
dengan kebahagiaan yang sementara dialami, perlu berbagi kepada orang lain di
sekitar kita, sehingga yang lain turut merasakan kegembiraan kita. Begitu pula
dengan makhluk-makhluk yang tak tertampak oleh kasatmata, berbagi kegembiraan
kepada mereka sebagai cara pelimpahan jasa kebajikan. Cara ini khas Buddhistis
yang merupakan tradisi yang berawal dari zaman Buddha Gautama.
Jadi, sukha dan dukkha adalah bagian dari hidup
kita sebagai fakta kehidupan yang pasti dialami oleh siapapun tidak pandang
usia, jenis kelamin, taraf kehidupan, tataran hidup, bahkan bukan manusiapun
akan mengalami kondisi tersebut. Dan yang terpenting kita harus menyadari bahwa
keadaan/kondisi di atas bersifat sementara saja, tidak kekal dan akan mengalami
perubahan serta tidak akan bertahan lama. Ketika mengalami dukkha, cobalah kita
menengok mereka yang mengalami dukkha yang lebih berat, sehingga mental kita
akan lebih tahan menghadapinya. Sedangkan mereka yang sedang mengalami sukha
jangan lupa diri dan selalu mengingat bahwa hal tersebut sifatnya juga tidak
lama dan sementara saja. Realita dan objektiflah !
Hiduplah dengan “Realistis : bersifat nyata;
wajar”, jangan pesimis, dan jangan pula terlalu optimis, nilailah segala
sesuatu dengan “kaca mata” atau penilaian yang objektif. Dengan demikian kita
akan hidup dengan kesadaran dan penuh kewaspadaan serta berhati-hati. Bila kita
berpikiran pesimis, maka akan membawa hidup kita “drop”, tidak memiliki harapan
hidup dan melihat segala sesuatu dengan “kaca mata hitam”, tidak ada harapan
dan semangat hidup, penuh dengan kekecewaan, dan selalu memandang hidup ini
berat dan sulit. Akhirnya orang seperti ini lambat laun akan mengakhiri
hidupnya dan ini merupakan “Vibhava-tanha : keinginan/kehausan akan kemusnahan
atau memusnahkan diri”. Bila kita menggunakan pikiran optimis, memiliki
semangat yang “Over dosis” juga akan menimbulkan bahaya atau berdampak negatip,
karena semangatnya luar biasa seolah-olah tidak ada halangan dan hambatan hidup
baginya, ia merasa bahwa segala sesuatu mudah, maka tidak ada persiapan untuk
melihat kenyataan bila mengalami kegagalan. Ketika ia mengalami kegagalan, maka
semangatnya akan “drop” dan berubah pikiran menjadi pesimis. Akhirnya juga akan
mengakhiri hidupnya karena merasa tidak dapat bertahan akan kenyataan hidup
ini.
Berbeda dengan mereka yang memiliki pikiran
objektif, orang ini akan selalu melihat apa adanya dengan wajar sesuai dengan
proporsinya, dukkha ya dukkha tidak lebih dari itu, akibatnya tidak sampai
tidak bisa tidur, tidak bisa makan, selalu stress yang semakin membawa
penderitaan. Dan mengalami sukha ya sukha tidak berlebihan, karena orang ini
mengerti bahwa itu semua bersifat sementara, akan mengalami perubahan, dan
tidak ada yang harus dibanggakan ataupun disombongkan.
Kembali pada topik tentang “manusia”, bila
ditinjau dari bahasa Pali, manusia berasal dari kata “Manussa” terdiri dari
kata “mano” berarti pikiran, kata “assa” berarti agung, luhur, mulia. Dengan
demikian manusia secara harfiah berarti makhluk yang memiliki pikiran yang
luhur dan agung. Sebagai makhluk yang memiliki pikiran yang luhur dan agung,
kita perlu melatih dan terus melatih pikiran kita agar sesuai dengan hakikat
kemanusiaan kita. Apabila kita tidak melatihnya terus-menerus, maka akan muncul
potensi yang negatip.
Di dalam diri manusia, terdapat dua potensi yang
bertolak belakang, yakni : potensi positip (Tiga akar kebajikan/Kusala-mula 3 ;
Dighanikaya III:275) dan potensi yang negatip (Tiga akar kejahatan/Akusala-mula
3 ; Dighanikaya III:275, Itivuttaka 45). Tiga akar kebajikan yang merupakan
potensi positip yang timbul dari dalam diri manusia (faktor internal) adalah
Alobha (Tidak serakah atau Karuna : belas kasih atau kasih sayang), Adosa
(Tidak membenci atau Metta : cinta kasih universal dan Mudita : simpati atau
empati), dan Amoha (Tidak bodoh atau Panna : kebijaksanaan). Ketiga potensi ini
seharusnya ditumbuh-kembangkan serta dilestarikan sehingga akan menimbulkan
dampak perbuatan konstruktif (bersifat membangun/berguna) agar menjadi
kebiasaan baik bagi kita sebagai potensi untuk mencapai Penerangan Sempurna. Potensi
ini sangat diperlukan untuk membangkitkan citra kita sebagai manusia yang
memiliki pikiran luhur dan agung.
Potensi negatif atau tiga akar kejahatan
merupakan potensi yang timbul dari dalam diri manusia (faktor internal) adalah
Lobha (keserakahan), Dosa (kebencian, dendam), Moha (kebodohan batin/mental)
yang akan menimbulkan dampak perbuatan destruktif (bersifat
merusak/menghancurkan). Lobha kadang-kadang disebut loba, keinginan
rendah/tanha, napsu indera/kama, hawa napsu/raga, yang secara psikologi berarti
terikatnya pikiran oleh objek-objek. Dosa kadang dikenal dengan nama dendam
atau tidak senang/patigha dan kemauan jahat/byapada, yang secara psikologis
berarti pukulan yang berat dari pikiran terhadap objek, yaitu pertentangan dan
konflik. Moha juga disebut tidak tahu/avijja, tidak berpengetahuan/annana, atau
kurang pengertian/adassana.
Potensi negatip harus dipendam agar tidak muncul,
dihambat, dan kemudian dihancurkan agar musnah, apabila tidak maka akan
menghancurkan dan menjatuhkan kehidupan seseorang sehingga membawa penderitaan
dalam kehidupan sekarang ini dan kehidupan mendatang dengan terlahir kembali di
alam-alam rendah/menyedihkan atau alam kejatuhan (alam asura, alam peta, alam
binatang, dan alam neraka) atau di alam manusia dengan kondisi yang tidak
menguntungkan dan lebih banyak penderitaannya. Apabila potensi ini dipendam,
dihambat kemunculannya, dan kemudian dihancurkan, maka dalam diri seseorang
akan muncul 2 Dhamma Pelindung Dunia (Lokapala Dhamma), yakni : Hiri (rasa malu
terhadap diri sendiri dalam melakukan tindakan negatip atau destruktif). Orang
yang memiliki kekuatan ini akan segan melakukan perbuatan jahat atau salah,
sedangkan orang yang tidak memiliki Hiri bila ia berniat untuk melakukan suatu
perbuatan jahat ia tidak akan ragu-ragu atau tidak lagi berpikir hingga dua
kali untuk melaksanakannya. Kekuatan ini berkualitas tertinggi karena muncul
dari internal diri yang tidak terpaksa, tidak dibuat-buat, dan munculnya dari
ketulusan serta kesadaran sendiri karena mengerti dengan benar akan akibat
buruk dari tindakan negatip. Ottappa (rasa takut akan akibat perbuatan jahat).
Ketakutan atau keengganan yang muncul karena faktor eksternal diri disebabkan
adanya ancaman hukuman yang ada, misalnya bila melanggar akan terjerat hukum negara
atau pelanggaran Pancasilasikkha.
Kendati hal ini kurang berkualitas bila
dibandingkan dengan Hiri, akan tetapi setidaknya seseorang masih memiliki rasa
takut. Orang yang memiliki kekuatan ini bagaikan orang yang takut akan
menyentuh api, karena akibat menyentuh api akan menyebabkan rasa sakit. Jadi
bila seseorang mau berbuat kejahatan, seseorang itu masih berpikir-pikir dahulu
akan akibat yang diterima, tidak langsung melakukan tindakan kejahatan. Artinya
seseorang yang memiliki rasa takut masih lebih baik ketimbang tidak ada rasa
takut di dalam dirinya. Rasa takut bisa menjadi alat rem dalam melakukan
kejahatan kendatipun bukan rem pakem/ yang ampuh. Menurut sabda Buddha, apabila
setiap orang di dalam dirinya memiliki dua potensi tersebut di atas, maka dunia
akan terlindung, aman, tentram, damai, bebas dari pertikaian, pertengkaran,
permusuhan, maupun teroris karena memiliki masyarakat berperadaban tinggi.
Dengan demikian dunia akan menjadi damai dan sejahtera, karena berpenghuni
manusia-manusia yang bermoral etik yang tinggi, berbudaya, dan berbudi pekerti
yang luhur.
Potensi positip dan negatip ini terdapat dan
muncul dari dalam diri manusia itu sendiri atau disebut juga sebagai faktor
internal bukan faktor eksternal yang muncul dari luar diri manusia atau
dipengaruhi oleh kekuatan luar. Agar potensi positip tetap bersahaja, maka kita
harus selalu penuh perhatian (sati) dan waspada (sampajana) di dalam
menumbuh-kembangkan potensi tersebut agar tidak muncul potensi negatip atau
kekuatan yang tidak baik dan tidak berguna. Potensi positip apabila terlestari,
maka akan berdampak baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, demikian
sebaliknya apabila potensi negatip berkembang, maka berdampak buruk yang muncul
bukan hanya bagi diri sendiri namun akan berdampak pula bagi orang lain.
Dalam Buddhadhamma diyakini bahwa kedua potensi
itu muncul, berkembang atau tidak, sesungguhnya tergantung pada DIRI SENDIRI,
tidak ada kekuatan luar yang sangat hebat untuk menguasai diri seseorang.
Seseorang adalah majikan dan penguasa bagi dirinya sendiri. Kita tidak mengakui
dan tidak memberi hak paten kepada makhluk lain apakah dikenal sebagai
Mahadewa, Adiinsani atau Adikuasa diluar diri seseorang yang menguasai dirinya.
Jelasnya, tidak ada kekuatan lain yang mampu mengontrol dan menguasai diri kita
selaian DIRI SENDIRI dengan potensi yang ada. Remote Control-nya ada ditangan
kita masing-masing. Potensi negatip dan positip yang memunculkannya adalah
sesuai dengan kekuatan DIRI SENDIRI. Oleh karenanya berlatihlah untuk menguasai
dan memanfaatkan kekuatan diri sendiri agar potensi-potensi positip dalam diri
kita tumbuh berkembang menciptakan kedamaian dan kebahagiaan bagi dunia. Dengan
tumbuh berkembangnya potensi-potensi positip yang menjadikan manusia sebagai
citranya, maka potensi-potensi negatip dengan sendirinya akan terpendam dan
tidak akan muncul.
Untuk memenuhi citra sebagai manusia yang
berpikiran luhur, kadang kita perlu belajar dari makhluk lain seperti hewan.
Alasannya, bila kita memperhatikan ada hewan yang setelah makan, ia
beristirahat. Ini menunjukkan bahwa hewan tersebut merasa puas dengan apa yang
telah dinikmatinya. Berbeda dengan kita sebagai manusia yang mana setelah
kenyang maka manusia bekerja lagi dan bekerja lagi tanpa henti untuk mencukupi
segala kebutuhannya yang tak terpuaskan. Yang kaya terus berusaha untuk
memperkaya dirinya, sebenarnya mereka adalah orang miskin yang sebenarnya
dikarenakan ketidakpuasan yang terus dilanda dalam dirinya. Sementara si miskin
yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya, sesungguhnya adalah orang kaya
yang sebenarnya. Dari sisi lain, pada kenyataannya hewan lebih bahkan sangat
menghargai kehidupan, karena kita tidak pernah mendengar bahwa ada hewan yang
bunuh diri. Sementara di media elektronik dan media massa tidak jarang kita
melihat dan membaca berita yang menyatakan bahwa manusia melakukan bunuh diri
dengan berbagai macam alasan, apakah karena seorang wanita, harta benda, tidak
mampu mencukupi kebutuhan hidup, dan bahkan tidak sedikit yang karena dililit
oleh hutang. Kelihatan sekali mereka tidak menggunakan kesempatan dan peluang
untuk menghargai hidup ini. Sedetikpun bagi kita hidup ini sangat berarti dan
bermanfaat apabila kita gunakan untuk kebaikan dan kebahagiaan bagi banyak
pihak.
Sesungguhnya, manusia di dalam alam yang penuh
dengan sukha dan dukkha ini tidak dapat hidup sendiri, kita harus hidup
berkelompok dan berdampingan dengan orang lain. Tanpa itu, kehidupan kita
tidaklah berarti dan tak mungkin dapat hidup sendiri. Satu waktu pasti
memerlukan orang lain. Sebagai contoh : untuk memangkas rambut kita, pakaian
yang kita pakai, makanan yang kita makan, dan lain sebagainya adalah merupakan
hasil kerja dan karya orang lain. Maka mengertilah hakikat hidup ini dengan
benar. Bila kita memutuskan hidup kita sebelum waktunya alias bunuh diri,
kemungkinan banyak orang yang merasa kehilangan, dan secara Buddhadhamma
perbuatan demikian tidaklah baik dan tidaklah berguna. Mengakhiri hidup
bukanlah solusi atau penyelesaian yang tepat dan baik, karena pasti akan bertumimbal
lahir kembali. Belum tentu kelahiran berikut lebih baik dari sekarang. Alangkah
lebih tepat apabila kita memanfaatkan kehidupan sekarang dengan sebaik-baiknya,
menciptakan buah-buah kebajikan dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi
orang lain. Kondisi kita pada kehidupan yang akan datang, tentu disebabkan oleh
kamma kita pada kehidupan sekarang ini. Sementara kondisi sekarang ditentukan
oleh kamma sekarang dengan kombinasi kamma yang lampau. Oleh karenanya, Buddha
mengingatkan kita, “Jangan diingat apa yang telah lampau, jangan dipikirkan
yang akan datang, tetapi HIDUPLAH SAAT INI.” Apa yang dapat diperbuat,
lakukanlah ! Yang lampau tidak akan dapat diubah lagi, yang akan datang
belumlah pasti. Apa yang baik maka dilestarikan, dikembangkan, dan dilanjutkan.
Apa yang tidak baik, lambat laun dipendam, ditinggalkan, dan kemudian
dihancurkan. Sebagai seorang Buddhis, janganlah kecewa dan merana dengan
keberadaan kita saat ini, semua yang kita alami ada penyebabnya, bukan terjadi
begitu saja, kebetulan, atau terjadi dengan tiba-tiba atau sekonyong-konyong.
Bisa terjadi, tidak lain karena tabungan perbuatan di masa yang telah lewat,
yang tak mungkin di-review kembali. Tapi dapat diubah ke arah yang lebih baik
dengan cara : “Sabbapapassa akara Kusalassa upasampada Sacittapariyodapana Eta
Buddhana sasanam” artinya tak melakukan segala bentuk kejahatan, menyempurnakan
kebajikan, dan menyucikan pikiran; inilah ajaran para Buddha.”
Oleh karena itu, kita-lah yang bertanggungjawab
dengan apa yang telah kita lakukan bukan dengan cara “melarikan diri dari
kenyataan” atau “menyesal tiada henti” dengan apa yang telah dilakukan tanpa
ada “Action” untuk mengubahnya. Ingatlah ! Perubahan, ketidaktetapan, atau
ketidak-kekalan merupakan hukum yang pasti. Karena ada kepastian tentang hukum
ketidak-kekalan, maka selamatlah mereka yang hidup dalam kekurangan, cacat
mental atau fisik, belum mendapatkan kesempatan dan lain-lain, sehingga masih
ada kesempatan untuk meraihnya di masa mendatang atau dikehidupan mendatang.
Dalam Samyutta Nikaya V : 457 Buddha Gautama
bersabda kepada Bhikkhu Ananda Thera :
“Bayangkan bila seluruh permukaan bumi ini
tertutup oleh air, dan ada seseorang yang melemparkan sebuah gelang ke
permukaan air. Oleh tiupan angin, gelang tersebut terombang-ambing ke utara,
selatan, timur, dan barat. Sekarang anggaplah bahwa sekali dalam seratus tahun
seekor kura-kura yang buta akan muncul ke permukaan air. Apakah yang anda pikir
akan terjadi ? Akankah kura-kura itu memasukkan kepalanya ke dalam gelang
ketika muncul dipermukaan air ?”
“Tidak mungkin, Bhante.” “Nah, keadaan tersebut
sama tidak mungkinnya dengan suatu makhluk untuk dilahirkan sebagai manusia;
sama tidak mungkinnya dengan seorang Tathagata, Buddha yang Mahamulia, Buddha
yang telah mencapai Penerangan Sempurna, untuk muncul di dunia; dan sama tidak
mungkinnya dengan Dhamma dan ajaran-ajaran Tathagata untuk dibabarkan. Namun,
sekarang anda telah dilahirkan sebagai manusia, seorang Tathagata telah muncul
dan Dhamma telah dibabarkan. Oleh karena itu, berusahalah sekuat tenaga untuk
menyadari Empat Kebenaran Mulia.”
Menyimak sepenggal ayat suci di atas, kita yang
terlahir sebagai manusia harus berbahagia karena menurut ayat suci tersebut
ternyata tidak mudah untuk terlahir sebagai manusia. Bagi kita yang telah
terlahir sebagai manusia, hal tersebut tidaklah sulit, bahkan kita juga
mengenal Tathagata, dan mengenal Dhamma serta yang jelas di kehidupan yang
lampau kita telah mencetak banyak kamma yang berpotensi untuk terlahir di alam
manusia. Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa mempertahankan
keberadaan kita sebagai manusia atau meningkatkan keberadaan kita ke taraf yang
lebih tinggi lagi dari manusia di kehidupan mendatang. Ada empat Dhamma untuk
umat awam yang disebut Gharavasa-Dhamma, yaitu : Sacca atau kejujuran baik
dalam ucapan maupun perbuatan, Dama atau penyesuaian diri dalam melatih diri
untuk mengendalikan pikiran ke arah yang baik, menguatkan perhatian akan
kebijaksanaan sehingga memiliki kebijaksanaan dalam diri, Khanti atau
kesabaran, sabar dalam melakukan pekerjaan apa saja, rajin dan tidak mundur,
semua pekerjaan yang dikerjakan dapat selesai tepat waktu, Caga atau kemurahan
hati/pembebasan, berusaha membebasakan diri dari kekotoran batin, lapang dada
untuk mendengar dan menerima keluhan penderitaan dari orang lain dan berusaha
untuk membantu meringankan penderitaan orang lain.
Jadikanlah hidup kita kendatipun sedetik saja,
namun memberi arti lebih dari sedetik bagi diri sendiri maupun bagi banyak
orang, bahkan telah meninggal hingga ribuan tahun pun namanya akan terkenang.
Buddha Gautama telah lama Mahaparinibbana, namun ajaran-Nya masih berlangsung
hingga sekarang ini.
Akhirnya, Selamat Memperingati Hari Suci Magha
Puja 2549 Buddhis Era, semoga dengan pemahaman kita terhadap Dhamma akan
wujudkan citra kita sebagai manusia yang manusiawi, artinya sebagai manusia
yang memiliki pikiran yang luhur kita wujudkan hal-hal yang bermakna dalam
kehidupan ini. Sesungguhnya melalui sikap dan tingkah laku kita sesuai dengan
Kebenaran (Dhamma), maka Buddhadhamma akan menjadi maju berkembang dan diminati
oleh banyak orang.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta, Sadhu, Sadhu,
Sadhu
Popular Posts
Blogger templates
Categories
Blogroll
Blog Archive
-
►
2015
(1)
- ► 05/03 - 05/10 (1)
-
▼
2014
(16)
- ► 10/05 - 10/12 (1)
- ▼ 09/14 - 09/21 (9)
- ► 05/11 - 05/18 (1)
- ► 04/27 - 05/04 (1)
- ► 01/26 - 02/02 (1)
- ► 01/19 - 01/26 (3)
-
►
2013
(11)
- ► 07/28 - 08/04 (5)
- ► 04/28 - 05/05 (1)
- ► 04/21 - 04/28 (1)
- ► 04/14 - 04/21 (1)
- ► 02/17 - 02/24 (1)
- ► 01/27 - 02/03 (1)
- ► 01/06 - 01/13 (1)
-
►
2012
(26)
- ► 12/23 - 12/30 (2)
- ► 12/16 - 12/23 (3)
- ► 11/04 - 11/11 (2)
- ► 09/16 - 09/23 (3)
- ► 09/09 - 09/16 (2)
- ► 08/19 - 08/26 (1)
- ► 08/12 - 08/19 (4)
- ► 05/20 - 05/27 (1)
- ► 05/13 - 05/20 (2)
- ► 05/06 - 05/13 (1)
- ► 04/15 - 04/22 (2)
- ► 03/04 - 03/11 (3)
-
►
2011
(54)
- ► 09/11 - 09/18 (7)
- ► 09/04 - 09/11 (2)
- ► 08/28 - 09/04 (2)
- ► 08/07 - 08/14 (2)
- ► 07/31 - 08/07 (1)
- ► 07/17 - 07/24 (2)
- ► 07/10 - 07/17 (3)
- ► 07/03 - 07/10 (6)
- ► 06/26 - 07/03 (2)
- ► 06/19 - 06/26 (1)
- ► 06/12 - 06/19 (3)
- ► 06/05 - 06/12 (4)
- ► 05/29 - 06/05 (1)
- ► 05/15 - 05/22 (2)
- ► 05/01 - 05/08 (7)
- ► 04/24 - 05/01 (8)
- ► 04/17 - 04/24 (1)
About
Copyright ©
KEROHANIAN DHARMA | Powered by Blogger
Design by Flythemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com
0 komentar:
Posting Komentar