Akan tetapi anehnya, di lain pihak ada sebagian orang yang mempunyai pandangan seperti ini: “Oh, jangan dekat-dekat dengan agama Buddha”. Mengapa? Karena agama Buddha itu adalah agama yang anti upacara. Kalau nanti kita dekat-dekat dengan agama Buddha, kita tidak boleh sembahyang kepada orang tua kita, tidak boleh ke kuburan, dilarang masuk klenteng, dan lain-lain. Apalagi kalau “Theravada 1”. Nah, inilah pandangan ekstrim kedua. Dua hal ini saling bertolak belakang. Yang satu menangkap imej bahwa citra agama Buddha sebagai agama yang terbelakang, ketinggalan jaman, serba mistik, hanya terdapat upacara-upacara yang bersifat takhayul; sedangkan di kutub yang lain melihat agama Buddha sebagai agama yang terlalu rasional, anti upacara, dan kaku. Melarang umatnya untuk bergaul dengan upacara-upacara agama lain sehingga terkadang juga dikatakan sok murni dan imej itu mereka temukan pada golongan dari tradisi Theravada. Apakah benar? Tentu imej seseorang tergantung dengan apa yang dia tangkap, apa yang dia tafsir. Seandainya mereka mau mengerti sedikit lebih dalam, mau mengenal ajaran guru agung kita dengan lebih proporsional, maka pandangan seperti itu tidak akan muncul. Pertalian dengan apa yang saya sampaikan di depan, sebenarnya ingin menyoroti satu hal yang tidak asing lagi bagi saudara-saudara yaitu mengenai dewa.
Apakah agama Buddha mengenal dewa? Dewa yang sudah menjadi bahasa Indonesia, sesungguhnya berasal dari bahasa Pali dan Sansekerta deva 2, tapi dibaca dewa. Bagi kedua kutub itu tadi, kutub pertama yang mengatakan bahwa agama Buddha itu tidak sesuai dengan arus kemajuan jaman – yang menggunakan logika, berbicara dan berpikir sehat, scientific; agama Buddha dilihat sebagai agama yang tidak modern, ketinggalan, penuh dengan upacara, dan mereka akan mengatakan: “Oh tentu, di dalam agama Buddha dikenal dewa-dewa banyak sekali.” Kutub itu tentu akan mengatakan bahwa di dalam agama Buddha pasti banyak dewa, banyak patung. Vihara sebagai tempat dewa-dewa dipuja, disembah, dan diminta permohonan. Tetapi di kutub lain mereka akan mengatakan bahwa agama Buddha tidak mengenal dewa. Agama Buddha adalah agama yang sangat rasional. Orang dilarang masuk ke klenteng. Siapa yang melarang, saudara-saudara? Tidak ada dewa-dewa disana, yang ada hanyalah logika-logika saja.
Nah baiklah, saya akan berusaha untuk meluruskan hal ini. Di dalam agama Buddha terdapat tiga pengertian dewa. Yang pertama adalah dewa yang disebut sammuti deva. Sulit bagi saya untuk menerjemahkan kata sammuti deva itu. Apa artinya sammuti dewa? Ungkapan dewa yang digunakan untuk menamai hal-hal yang istimewa di dalam keseharian kita. Misalnya kalau ada obat yang manjur sekali, orang akan mengatakan: ‘Oh itu obat dewa’. Kalau ada senjata yang hebat, tombak panjang yang sekali tebas mampu menyapu pohon-pohon: ‘Oh ini pusaka dewa, pedang dewa, tombak dewa’. Kalau orang luar biasa seperti bung Karno yang dulu ditembak lima kali namun luput, orang mengatakan: “Oh dia adalah manusia dewa”. Raja-raja dalam literatur buddhis juga disebut dewa. Dewa dalam arti ungkapan yang dipakai dalam keseharian manusia untuk menamai hal-hal istimewa yang terjadi. Jadi bila ada kepala negara yang disebut sebagai dewa, maka dalam buddhis hal itu dibenarkan dewa dalam konteks sammuti deva.
Pengertian dewa yang kedua adalah opapatika deva, artinya makhluk yang lahir secara spontan, tidak melalui kandungan, telur, atau lingkungan yang basah seperti amoeba. Tiba-tiba ada, meskipun sebetulnya ada sebabnya. Sebabnya adalah ada makhluk lain yang meninggal dan karmanya menyebabkan kelahiran di alam dewa, tetapi tidak melalui rahim seorang ibu, muncul begitu saja, dengan usia lebih panjang dibanding usia manusia, dan tidak banyak menderita. Mungkin tidak perlu kuliah, tidak perlu bekerja karena tidak makan, tidak bernapas juga. Jadi kalau mau bermeditasi anapanasati 3 tidak akan bisa. Umurnya panjang, banyak senangnya, ada yang 50 tahun di sini baru sehari di alam dewa, ada yang 500 tahun di sini hanya sehari di sana.
Jadi agama Buddha mengenal bhante, makhluk-makhluk seperti itu? Iya, mengenal makhluk-makhluk yang tak tampak itu. Dalam Karaniyametta Sutta 4 pun kita mengharapkan kebahagiaan semua makhluk yang tampak maupun yang tak tampak – semua makhluk, dan makhluk dewa ini pun banyak macamnya, dengan kualitas hidup yang berbeda-beda. Namun demikian para dewa tetap mengalami pelapukan. Apakah dewa-dewa tersebut sudah terbebas dari penderitaan? Oh belum, tetapi mereka banyak menikmati kebahagiaan, menerima buah karma baik yang sudah pernah ditanam sebelumnya, mengalami sedikit penderitaan, sehingga terkadang tidak ingat untuk berbuat baik lagi, terlalu senang, namun masih memiliki rasa iri hati, kebencian, keserakahan, dan kebodohan batin.
Tidak banyak berbeda dengan manusia, hanya fisiknya saja yang berbeda, rentang usianya yang berbeda. Namun seperti halnya manusia, mereka masih memiliki rasa iri hati, marah, mengalami perubahan, terkena ketidakkekalan, dapat melakukan hal-hal negatif, begitu pula hal-hal yang positif.
Bagaimana makhluk-makhluk dapat terlahir di alam dewa ini, bhante? Mereka yang mempunyai mental dewa, walaupun fisiknya sebagai manusia. Merasa malu berbuat jahat, takut akan akibat perbuatan jahatnya, mengembangkan metta pada semua makhluk, mengharapkan semuanya berbahagia. Peduli pada mereka yang membutuhkan, kalau tidak bisa memberikan bantuan materi maka lakukan dengan pikiran mengharapkan mereka bebas dari penderitaan, ikut simpati pada mereka yang maju, tidak marah, tidak iri hati. Dalam wujud keseharian, di dalam fenomena kehidupan bermasyarakat, mereka yang menolong dan mempunyai etika perilaku-sila yang baik, mereka akan terlahir di alam dewa. Tidak perlu meditasi. Cukup dana dan sila. Sila lahir dari mental malu berbuat jahat dan takut akan akibatnya. Dana lahir dari metta dan karuna. Sikap mental hiri-otappa dan brahmavihara 5 inilah dalam realita sehari-hari menjadi dana dan sila. Peduli pada mereka yang menderita dan mempunyai pengendalian diri.
Bagaimana bhante, bisa kita pegang? Bagaimana supaya sikap tersebut tidak terlupa, tertutup oleh emosi yang negatif? Saya menggunakan emosi yang negatif untuk menerjemahkan kilesa (defilements, kekotoran batin). Mengapa sang Buddha menggunakan istilah kekotoran batin? Karena bila kotoran itu timbul seperti air yang sebelumnya mengendap, gelap, dan pada saat gelap kita tidak dapat membedakan baik ataupun buruk. Saat lampu ini mati semua, tidak ada secercah sinar, tidak dapat melihat apapun. Manusia siap melakukan apapun pada saat emosi naik. Oleh karena itu, cobalah menyegarkan kembali sel-sel motivasi memotivasi dirinya sendiri, setidak-tidaknya dua kali sehari, pagi dan sore. Memotivasi tidak hanya kepada orang lain, tetapi yang lebih penting adalah memotivasi diri sendiri.
Saat ini motivasi merupakan satu-satunya pilihan. Syukur bila usaha kita, nasehat kami para bhikkhu masih bermanfaat. Kalau tidak bhante? Kalau tidak biar!! Tidak jadi soal bagi saya, yang penting saya tidak (melakukan hal-hal negatif). Dengan motivasi itu kita akan meredam emosi negatif dan menyegarkan ingatan kita, keyakinan kita terhadap hukum karma, hiri-ottapa, metta dan karuna. Kata kuncinya adalah kalau orang lain tidak bisa ikut melakukan hal yang baik biar tetapi tidak untuk saya. Syukur bila kita bisa ikut mempengaruhi yang lain. Kalau dana dan sila ditambah meditasi mencapai ketenangan yang luas, kenikmatan yang bukan dari inderawi, bukan dari makan dan lain-lain; tenggelamnya kekotoran-kekotoran batin, tenang, lalu mencapai jhana, nah makhluk-makhluk bisa dilahirkan di alam dewa brahma. Bila tanpa meditasi, hanya menjaga diri dan menolong, maka akan terlahir di alam dewa-dewa kamaloka. Oh tentu kehidupannya jauh lebih menyenangkan dari kehidupan kita ini. Itulah opapatika dewa adalah makhluk yang mempunyai jasmani dan kondisi hidup yang berbeda dengan manusia, yang lahir tanpa melalui kandungan dan tanpa melalui telur. Meskipun usianya panjang dan penuh dengan kenikmatan, tetap hidupnya tidak kekal.
Pengertian dewa yang ketiga adalah visudhi deva. Mereka yang terbebas dari kekotoran batin, tidak hanya tenggelam sementara, tetapi sudah tidak ada lagi kotoran-kotoran batin yang tertinggal. Para arahat antara lain Buddha Gotama juga disebut sebagai visudhi dewa. Jadi kalau misalnya pada suatu ketika kita membaca buku-buku terbitan India, sang Buddha disebut juga sebagai dewa Buddha. Kalau pengertian saudara-saudara belum dilengkapi, saudara bisa marah dan berkata: “Oh tidak!!! Sang Buddha bukan dewa, tapi guru para dewa dan manusia”. Pada waktu sang Buddha bertemu dengan seorang pertapa yang bertanya apakah Beliau adalah brahma, dewa, gandhaba, atau manusia, Beliau menjawab semua itu: ‘Tidak. Aku adalah guru’. Tapi kenapa disebut dewa Buddha?. Dalam artian opapatika dewa memang bukan. Buddha bukanlah opapatika dewa.
Dalam artian sammuti dewa juga tidak. Tapi dalam artian visudhi dewa yang telah suci dari kotoran-kotoran batin, tidak ada lagi dosa, lobha, moha, kilesa, kebencian, kekerasan meskipun kecil dan bisa disembunyikan rapi sekali -maka boleh disebut demikian. Salah satu arti dari arahata adalah mereka yang telah memotong kekotoran batin meskipun halus dan tersembunyi. Dan dalam hal ini Beliau boleh disebut visudhi dewa, dewa dalam artian yang bebas dari kekotoran batin.
Sekarang bhante bagaimana caranya membersihkan kotoran-kotoran? Caranya tak lain adalah berdana, peduli pada mereka yang menderita, mengendalikan perilaku, meditasinya dilanjutkan – tidak hanya mencari ketenangan, keheningan, kenyamanan, tetapi lebih dari itu yaitu agar kesadaran kita menjadi lebih tajam. Bila suatu saat pikiran kita sedang bosan, apa yang harus kita lakukan bhante? Kalau cara yang biasa ya pergi minum, ke restoran bareng teman-teman atau malah baca paritta keras-keras. Namun cara yang paling baik menurut meditasi, ya diperhatikan saja. Oh pikiranku lagi ngambek. Diperhatikan saja, diamat-amati, nanti akan hilang sendiri. Kita semua pernah mengalami situasi yang menjengkelkan, membosankan, menjemukan. Kita bisa mengalihkannya dengan berbagai macam cara. Nah sekarang kita mengatasi kebosanan kita dengan memperhatikannya menggunakan kesadaran. Kesadaran itulah meditasi lanjutan. Menggunakan kesadaran itulah kita bermeditasi. Tidak hanya enjoy dengan keheningan, kenyamanan, ketenangan.
Apa bisa bhante, untuk mengatasi itu kita duduk diam penuh kesadaran, terus kalau waktu digunakan apakah kesadaran akan habis bhante? Oh kesadaran akan tumbuh lagi. Untuk itulah kesadaran harus diasah. Sekarang kita meditasi, seminggu kemudian baru meditasi lagi. Sehari-hari kesadarannya tidak dipakai dan akhirnya hilang. Apalagi meditasi umat Buddha ini. Setahun sekali meditasi umat Buddha yang tepat waktu sampai detik-detiknya hanya pas meditasi menyambut detik-detik Waisak. Kesadaran ini tidak akan berkurang saudara-saudara. Sehari-hari dipakai malah akan bertambah dan bertambah. Kalau kekotoran batin diamati, bisa berkurang. Rasa bosan diamati, kebencian diamati, kemarahan diamati, akhirnya kekotoran batin berkurang. Kalau kita buru-buru ke altar ke hadapan sang Buddha, memang hilang dendamnya, tetapi itu hanya ditekan, di-press, hilang di permukaan saja. Atau bila kita menyetel video, baca paritta keras-keras, atau malah keluar pergi restoran makan-makan.
Intinya tidak membuat diri kita sampai membalas orang lain, tetapi dendam itu hanya ditekan saja. Entah itu dengan iman, dengan keyakinan, paritta, doa; dendam atau kebencian itu di-press. Apakah tidak bagus? Oh bagus tapi tidak menyelesaikan masalah. Pondasi dendam itu sendiri tidak berkurang, hanya ditekan. Kalau menggunakan cara vipassana: dendam muncul di pikiran, saya tidak mau ingat-ingat tapi kok tiba-tiba muncul, munculnya di vihara lagi, apa tidak takut dendam saya ini dengan Buddha? Oh si dendam tidak takut. Nah kita cukup sadari: Oh pikiranku lagi ingat dia, itu akan mengurangi kotoran, tidak melekat pada kotoran, tidak menyembunyikan kotoran, tetapi kotoran akan berkurang. Menguranginya bagaimana bhante? Yah diamati saja. Nah batin yang bersih itulah yang patut disebut sebagai visudhi deva lebih dari sekedar makhluk dewa. Jadi saudara jangan marah pada diri sendiri kalau-kalau suatu saat timbul nafsu seksual, ingin makan, ingin mencuri, ingin nyolong; itu anda benci pada diri sendiri, marah pada diri sendiri. Lalu bagaimana bhante? Yah dibiarkan saja dan cukup disadari.
Jangan takut kalau kotoran itu muncul. Takutlah kalau anda tidak menyadarinya, karena dengan tidak menyadari itulah bisa-bisa menjadi karma pikiran, perbuatan, dan ucapan. Kalau ada kesempatan dan niat jadilah perbuatan buruk. Nah sekarang kalau pikiran kotor itu muncul, tak usah marah, tak usah malu, siapa yang bisa baca pikiran saudara? Tidak ada. Jangan marah, malu, under-estimate: Saya ini banyak lemahnya, tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Cukup diketahui saja, disadari saja: apa sebabnya, dianalisa. Meditasi hanya memperhatikan dan dengan kekuatan perhatian itulah maka gejolak itu akan tenggelam. Anda membersihkan mental anda. Di buddhis menyesal tidak ada artinya. Perbuatan buruk di hadapan sang Buddha: Oh ampunilah saya sang Buddha, saya akan namakhara 100 kali. Semua itu akan percuma.
Oh ingatan dulu pernah berbuat buruk, itulah cara membersihkan mental kita. Anda mempunyai alat untuk membersihkan mental anda rasa sedih dan kecewa, dengan memperhatikan, perhatikan dengan pasti dan seksama. Itulah cara membersihkan kekotoran batin. Untuk itu anda perlu mengasah kesadaran anda, perhatian anda. Mereka yang bersih batinnya itulah yang pantas disebut sebagai visudhi-deva. Jadi kubu yang mengatakan oh agama Buddha itu adalah agama yang mistik-mistik, ketinggalan jaman, percaya pada tahayul, banyak dewa di sana yang diminta macam-macam, dan lain-lain; dan di kubu lain mengatakan bahwa agama Buddha itu agama yang anti tradisi, anti kelenteng, isinya logika melulu, tidak mengenal dewa-dewa, kedua pandangan tersebut keliru. Dua pandangan yang salah dari kedua kubu yang ekstrim ini tidaklah benar. Agama Buddha memang mengenal dewa.
Ada dewa yang dimaksud dalam kehidupan sehari-hari; ada dewa sebagai makhluk yang lahir secara spontan, usianya lebih panjang daripada usia manusia, kesenangan lebih banyak, tetapi tidak kekal; dan ada pula sebutan dewa pada mereka yang batinnya telah bebas dari kotoran-kotoran. Tetapi bhante apakah umat Buddha boleh meminta-minta pada dewa? Anda mau minta pada dewa yang mana? Dewa-dewa tidak kelihatan, diberi pun tidak tahu kok. Meminta tidak dilarang, tetapi tidak ada gunanya saudara-saudara. Kalau anda percaya, yakin pada hukum sebab akibat, maka sikap meminta-minta itu akan kontradiktif. Semua terjadi karena ada kondisi, semua terjadi karena ada sebab. Tapi kalau anda membuang hukum karma nah itu baru cocok. Dunia ini terjadi karena ada yang mengatur, kita bisa dapat hadiah maupun hukuman, hukum karma tidak ada, maka sikap meminta-minta dapat diterapkan.
Tapi kalau anda percaya pada hukum karma sebagai realita, maka tidak cocok bagi anda untuk meminta-minta. Anda akan menjadi tidak konsisten dengan keyakinan anda sendiri. Bagaimana anda bisa lulus dan mendapat gelar sarjana? Oh dengan belajar bhante. Anda yakin akan hal itu? Yakin bhante. Gelar itu bukan karena diberi oleh rektor kok. Namun anda yakin bahwa untuk menjadi sarjana itu maka kita perlu mengikuti proses perkuliahan secara bertahap. Tetapi anda meminta-minta dispensasi pada dekan, yah tidak cocok. Tidak akan lulus. Perkara real tidak ada gunanya, secara psikologis mungkin ada gunanya. Kita boleh saja mempunyai harapan: semoga dengan kebaikan yang saya berikan, saya bisa berbahagia. Tapi tidak meminta-minta: Oh Buddha kasihanilah kami.
Masalahnya bukan boleh atau tidak boleh, tapi sikap meminta-minta itu tidak cocok dengan hukum karma yang anda yakini. Kuliah itu yah bisa bikin lulus bisa tidak. Kuliah itu tidak ada gunanya. Yah itu adalah hal yang tidak sesuai dengan hukum karma. Oleh karena itu sebagai penutup tidak benar kalau ada kubu yang mengatakan: oh umat Buddha itu benci sama tradisi, tidak boleh tabur bunga, masuk klenteng, dan lain sebagainya. Siapa yang melarang? Jadi kalau kita menghormat dewa boleh bhante? Boleh. Kalau anda mau menghormat, hormatlah dengan tahu siapa yang dihormat. Menghormat orang tua kita, orang lain saja boleh menghormat. Tapi persoalannya sikap meminta-minta itu yang tidak ada gunanya. Bukan persoalan hormatnya. Asevanã ca bãlãnam – jangan bergaul dengan orang-orang dungu, itu sudah merupakan suatu berkah. Apalagi panditãnañcã sevanã bergaul dengan para bijaksana, itu juga merupakan berkah. Pãjã ca pãjaniyãnam – menghormat yang patut dihormat. Kesemua itu adalah berkah utama. Kalau saudara menghormat namun saudara tidak mengerti, berarti tidak ada kearifan dari penghormatan saudara.
Karena saudara memiliki keyakinan bahwa terdapat sesuatu sebab, ada suatu kondisi, maka kewajiban kita bukanlah meminta melainkan menjaga, membuat sebab-sebab atau kondisi-kondisi itu sehingga keinginan kita tercapai. Contoh yang mudah: bila anda pusing, ada fenomena pusing dan itu ada sebabnya. Kewajiban kita bukan menghilangkan pusing itu. Kewajiban kita adalah menetralisir sebab-sebabnya sehingga pusingnya hilang. Dengan wisdom kita menyadari bahwa pusing ada sebabnya, sesuatu apakah karena ada pikiran, kurang tidur, kecapekan, maka barulah rasa pusing bisa diatasi. Saudara tidak cukup hanya ingin, ingin, dan ingin saja. Ingin ilmu, ingin kepandaian, semuanya itu tidak mungkin langsung ada. Kewajiban kita adalah melenyapkan kondisi, memelihara kondisi. Itu adalah WISDOME
Saya akan mengakhiri uraian ini dengan harapan semoga apa yang saya uraikan dapat menambah wawasan bagi saudara sekalian. Semoga mereka yang mempunyai pandangan yang salah bisa diluruskan.
0 komentar:
Posting Komentar