Siapa saja kepingin menjadi raja. Tetapi hanya sedikit orang yang dilahirkan untuk mewarisi takhta.
Banyak orang yang asalnya rakyat jelata berjuang keras untuk menjadi pemimpin bangsa. Mereka memerlukan kekuasaan dan kekayaan untuk menundukkan orang lain. Bahkan untuk mengubah dunia sesuai dengan cita-citanya, tidak pantang melakukan kekerasan dan menimbulkan pertumpahan darah.
Lain halnya dengan Pangeran Siddharta Gautama, yang kemudian menjadi Buddha. Ayahnya, Raja Suddhodana, menginginkan Siddharta naik takhta. Namun Siddharta justru meninggalkan takhta, harta, dan wanita. Ia memilih untuk menjadi petapa dan hidup sebagai rakyat kecil yang akrab dengan segala penderitaan dan kesedihan dunia.
Setelah menjadi Buddha, tentu Ia masih bisa menjadi kepala negara dan menggunakan kekuasaan untuk menyebarluaskan ajaran-Nya. Namun Buddha tidak bermaksud mencari pengikut yang terpaksa tunduk pada perintah-Nya. Ia ingin melayani, dan membuat semua orang tanpa kecuali, bebas dari penderitaan. Sedangkan penguasa yang menjalankan kekuasaan pemerintahan, mudah sekali membuat orang-orang yang menentangnya malah menderita. Bagaimana Buddha sebagai orang yang telah melihat penderitaan dan sumbernya masih memelihara keinginan menjadi penguasa?
Buddha ingin menumbuhkan kesadaran, kasih sayang, dan kebijaksanaan pada setiap orang. Kasih sayang misalnya, tidak lahir karena keterpaksaan mematuhi perintah. Memerintah itu gampang. Persoalannya, dunia memerlukan contoh teladan. Oleh karena itu, Buddha memosisikan diri sebagai seorang rakyat, menyingkirkan jarak dari orang kebanyakan yang sering menderita tanpa daya.
Tanpa kekerasan
Buddha dalam pentas sejarah hadir berupaya menciptakan dunia yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Di bulan Mei yang disebut Waisak ini, saat bulan purnama sidi hampir satu miliar orang mengenang kembali kehadiran BuddhaSakyamuni. Ajaran-Nya yang telah berusia dua puluh enam abad masih tetap relevan dengan kehidupan kita. Bagi sebagian orang, ajaran kebenaran yang sudah tua ini malah terasa menyodorkan hal-hal baru yang dibutuhkan oleh dunia modern.
Dewasa ini tindak kekerasan meningkat, di tengah masyarakat maupun di dalam rumah tangga. Teror bom, penculikan, berbagai aksi anarki dan kriminal, hingga kekerasan seksual sudah menjadi berita sehari-hari. Begitu juga arogansi kekuasaan, ketidakadilan, korupsi, kolusi, kebohongan, kemunafikan, sedikit atau banyak bertalian dengan unsur kekerasan.
Apa benar anak bangsa sering mengamuk, sampai-sampai kata amuk diadopsi menjadi kosakata internasional (amok/Inggris). Amuk dan tindak kekerasan dilakukan oleh warga desa, pelajar dan mahasiswa, anggota organisasi massa, ataupun aparat pemerintah. Suporter sepak bola dan pendukung partai atau kontestan pilkada sama saja. Macam-macam alasannya, bahkan tidak jarang kekerasan dilakukan atas nama agama.
Kekerasan tentunya bukan budaya kita. Ahimsa, dibaca ahingsa, merupakan salah satu ciri dari orang yang adil bijaksana, yang patut dituakan (Dhammapada 261), ciri dari orang yang suci dan mulia. Kata ini masuk dalam kosakata Jawa kuno atau Kawi. Prinsip tanpa kekerasan pun secara implisit terkandung dalam Pancasila dasar negara. Kita harus menjaga Pancasila yang sekarang ini agaknya sudah di ujung tanduk.
Untuk mengeliminasi kekerasan, Buddha mengubah kebencian menjadi cinta kasih. Hakikat tanpa kekerasan adalah cinta kasih. Cinta kasih yang diwujudkan dalam perbuatan nyata. Kemarahan dapat diluluhkan dengan kelembutan hati, kejahatan ditundukkan dengan kebaikan, kekikiran dikalahkan dengan kemurahan hati dan kebohongan disingkirkan dengan kejujuran.
Menurut Thich Nhat Hanh, dengan cinta kasih dan kerelaan untuk bertindak tanpa egoistis, berbagai strategi, cara, dan teknik berjuang tanpa kekerasan akan muncul sendiri. Setiap orang dapat melakukan aksi tanpa kekerasan, bahkan tentara sekalipun. Ia menolak perlakuan yang diskriminatif atau menyingkirkan sebagian orang yang dipandang sebagai musuh. Sebaliknya, mereka harus didekati dengan cinta kasih sehingga bergerak ke arah tanpa kekerasan.
Membahagiakan orang lain
Sejak masih kanak-kanak, Pangeran Siddharta mempertahankan prinsip untuk menghargai dan memelihara setiap bentuk kehidupan. Ketika Dewadatta memanah jatuh seekor angsa yang terbang, Siddharta yang melihat binatang itu masih hidup, berusaha untuk melindunginya. Dengan penuh kasih sayang ia berusaha untuk mengobatinya. Meskipun dipaksa, ia tidak mau menyerahkan binatang itu kepada Dewadatta. Pertikaian mereka kemudian diajukan ke hadapan dewan hakim. Dewan memutuskan bahwa Siddharta berhak memiliki angsa itu. Pertimbangannya sangat jernih: hidup adalah milik dari orang yang memeliharanya. Hidup tidak mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya.
Kita belajar dari Buddha, bahwa hidup kita tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk membahagiakan orang lain. Orang yang merasa tidak bahagia adalah mereka yang tidak pernah puas mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Kenapa kita tidak mengusahakan kebahagiaan bagi orang lain? Hidup ini akan menjadi lebih baik bagi mereka yang menginginkan kebahagiaan semua orang di sekelilingnya. Dunia akan menjadi lebih baik jika terdapat lebih banyak orang yang memiliki kepedulian pada penderitaan orang lain.
“Tempatkan dirimu di dalam diri makhluk lain,” ujar Shantidewa. Sesungguhnyalah semua orang yang merasa bahagia adalah karena mengusahakan kebahagiaan bagi orang lain. Gagasan dan usaha untuk membahagiakan orang lain adalah perwujudan cinta kasih yang tak terbatas.
Selamat Hari Waisak 2555, tahun 2011, semoga semua makhluk bahagia.
Oleh MAHASTHAVIRA ARYAMAITRI
Popular Posts
Blogger templates
Categories
Blogroll
Blog Archive
-
►
2015
(1)
- ► 05/03 - 05/10 (1)
-
►
2014
(16)
- ► 10/05 - 10/12 (1)
- ► 09/14 - 09/21 (9)
- ► 05/11 - 05/18 (1)
- ► 04/27 - 05/04 (1)
- ► 01/26 - 02/02 (1)
- ► 01/19 - 01/26 (3)
-
►
2013
(11)
- ► 07/28 - 08/04 (5)
- ► 04/28 - 05/05 (1)
- ► 04/21 - 04/28 (1)
- ► 04/14 - 04/21 (1)
- ► 02/17 - 02/24 (1)
- ► 01/27 - 02/03 (1)
- ► 01/06 - 01/13 (1)
-
►
2012
(26)
- ► 12/23 - 12/30 (2)
- ► 12/16 - 12/23 (3)
- ► 11/04 - 11/11 (2)
- ► 09/16 - 09/23 (3)
- ► 09/09 - 09/16 (2)
- ► 08/19 - 08/26 (1)
- ► 08/12 - 08/19 (4)
- ► 05/20 - 05/27 (1)
- ► 05/13 - 05/20 (2)
- ► 05/06 - 05/13 (1)
- ► 04/15 - 04/22 (2)
- ► 03/04 - 03/11 (3)
-
▼
2011
(54)
- ► 09/11 - 09/18 (7)
- ► 09/04 - 09/11 (2)
- ► 08/28 - 09/04 (2)
- ► 08/07 - 08/14 (2)
- ► 07/31 - 08/07 (1)
- ► 07/17 - 07/24 (2)
- ► 07/10 - 07/17 (3)
- ► 07/03 - 07/10 (6)
- ► 06/26 - 07/03 (2)
- ► 06/19 - 06/26 (1)
- ► 06/12 - 06/19 (3)
- ► 06/05 - 06/12 (4)
- ► 05/29 - 06/05 (1)
- ► 05/01 - 05/08 (7)
- ► 04/24 - 05/01 (8)
- ► 04/17 - 04/24 (1)
About
Copyright ©
KEROHANIAN DHARMA | Powered by Blogger
Design by Flythemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com
0 komentar:
Posting Komentar