Nasihat Sang Buddha kepada kita sesungguhnya adalah nasihat untuk mengatasi persoalan manusia di
segala zaman. Nasihat-Nya adalah: hadapi kehidupan ini dengan wajar dan berikan arah dengan benar! Hidup ketinggalan dari yang lain, hidup miskin, kurang makan, tidak ada pakaian, badan kurang sehat, berpikir lamban; tidak bisa disangkal lagi oleh siapapun juga, adalah penderitaan. Dengan menggali pengetahuan dan
menggunakan kemajuan teknologi, kerja keras dan disiplin; penderitaan-penderitaan tersebut pasti bisa diatasi.
1. Uttānasampadā: Kerja keras, jangan malas, jangan menggantungkan diri kepada siapapun juga. Dalam Dhammapada 112, Sang Buddha menyatakan: “Walaupun seseorang hidup seratus tahun tetapi malas dan tidak bersemangat, maka sesungguhnya, lebih baik orang yang hidup hanya sehari tetapi berjuang dengan penuh semangat.”
2. Ārakkhāsampadā : Jaga dengan baik apa yang telah engkau capai. Jangan sia-siakan!
3. Kalyānamittata : Mempunyai teman yang mendorong kemajuan.
4. Samajivitā : Menggunakan yang telah dicapai dengan perencanaan yang baik.
pihak.
Bagaimana bisa menjadi demikian? Ada tiga macam cara hidup:
1. Orang ingin hidup cukup, ingin hidup bahagia, ingin memenuhi keinginannya; memang tidak salah. Tetapi orang ini menggunakan cara yang merugikan orang lain. Bahkan kadang-kadang sampai hati merugikan keluarganya sendiri. Ia tidak pernah berpikir bahwa setiap orang pun ingin hidup seperti dirinya, perlu rasa aman; tidak ingin diganggu dan tidak ingin disakiti. Mereka yang mencari kesenangan, mencari kebahagiaan dengan merugikan orang lain sebenarnya sedang menambah penderitaan mental bagi hidupnya sendiri. Kegelisahan, kekhawatiran, rasa tidak aman, rasa tidak puas akan membakar hidupnya; karena usaha yang mereka lakukan penuh dengan iri hati, keserakahan, dan kebencian. Bukan hanya menambah penderitaan bagi dirinya sendiri, tetapi mereka juga menyebarkan penderitaan pada orang lain. Membuat banyak orang menderita. Orangorang seperti ini tidak berguna dua kali lipat. Dalam Dhammapada 291, dinyatakan:
“Ia yang menginginkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menimbulkan penderitaan pada orang lain, maka ia tidak akan terbebas dari kebencian; ia akan terjerat dalam kebencian.”
2. Orang ingin hidup bahagia. Ingin terpenuhi keinginannya; berusaha keras hingga mencapainya; memang tidak salah. Orang ini berusaha dengan tidak merugikan orang lain atau makhluk lain. Tetapi, ia tidak mau tahu dengan penderitaan orang lain. Ia hidup untuk dirinya sendiri. Bukan hanya tidak mengganggu orang lain, tetapi melupakan yang lain. Ini kelihatannya hidup gampang. Tetapi sesungguhnya hidup seperti ini adalah hidup yang kerdil. Secara diam-diam ia menganggap dirinya yang paling berharga di dunia ini. Memang benar
kalau yang dianggap dunia itu mungkin rumah kecilnya sendiri. Ajaran agama manapun juga tidak membenarkan, apalagi menganjurkan hidup kerdil seperti itu.
mau mencari kebahagiaan itu dengan cara bekerja keras membahagiakan istri dan anak-anaknya. Memegang tanggung jawab, memenuhi kewajibannya sebagai ayah. Andaikata sang ayah meninggal lebih dahulu, sebelum sempat melihat anak-anaknya menjadi dewasa, dengan demikian ia akan meninggal dengan damai. Kewajiban
yang harus dikerjakan telah ditunaikan sampai akhir hidupnya. Kematian sang ayah telah tiba, tetapi namanya
tidak akan mati.
Nama-nama besar seperti Gajah Mada, Pangeran Diponegoro, Ibu Kartini, hidup sampai hari ini, sedangkan ratusan, bahkan ribuan lainnya, meninggal tanpa dikenal oleh seorang pun. Mengapa demikian? Sebabnya tidak lain karena Gajah Mada, Pangeran Diponegoro, dan Ibu Kartini, seperti halnya kita, ingin hidup bahagia; tetapi mereka mencapai hidup bahagia itu dengan berjuang demi kepentingan banyak orang.
Agama, Dhamma, memberikan arah pada kehidupan ini. Memberikan cara bagaimana kebahagiaan harus dicapai. Sekaligus memberikan jalan keluar bagaimana mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Kalau kita bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan maksimal, dan kemudian memanfaatkan hasilnya dengan sebaik mungkin; untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, bahkan untuk semua makhluk kalau bisa; kita akan bahagia. Bukannya duduk bertumpang tangan, bukannya hanya berdoa dan sembahyang. Tetapi sekali lagi, kerja keras, mengejar ilmu dan menggunakannya dengan sebaik mungkin; kemudian buang keserakahan, gunakan hasilnya demi kepentingan masyarakat, demi kebahagiaan mereka.
“Bila suatu pekerjaan dikerjakan dengan seenaknya; bila suatu tekad tidak dijalankan dengan selayaknya; bila kehidupan suci tidak dijalankan dengan sepenuh hati; maka semuanya ini tidak mungkin membuahkan hasil yang besar.”
Kalau semakin banyak orang melupakan atau memungkiri kenyataan adanya penderitaan mental, semata-mata mengejar kebahagiaan materi apalagi mencari materi, nama, gelar, dengan merugikan orang lain—maka akan cepat hancur pula dunia kita ini. Nilai kemanusiaan akan semakin pudar. Ketenangan hidup akan menjadi jauh. Ilmu pengetahuan semakin maju, teknologi semakin berkembang. Tanggung jawab bersama merupakan sisi yang harus dipegang teguh. Tanpa tanggung jawab bersama, kebahagiaan individu pun tidak akan bisa dinikmati oleh tiap-tiap orang.
Kebijaksanaan akan semakin menyadarkan kita bahwa tanggung jawab bersama adalah tuntutan mutlak bagi kita. Negara kita adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya tanggung jawab sebagian orang. Masyarakat kita yang sejahtera adalah tanggung jawab kita bersama juga, bukan jatuh dari angkasa dengan tiba-tiba. Hari depan kita adalah tanggung jawab kita, tanpa kecuali. Marilah kita maju tanpa ragu-ragu. Hadapi hidup ini dengan wajar. Agama kita telah memberikan arah yang benar tentang
bagaimana kita harus berjuang.
0 komentar:
Posting Komentar